BeritaDewata.com, Denpasar – Aparat Bea Cukai wilayah timur Indonesia yang berpusat di Bali berhasil menangkap bahan peledak sebanyak 63 ton atau senilai Rp 8,2 miliar. Penangkapan tersebut dilakukan di perairan Kepulauan Kangian, Sulawesi Tenggara pada Rabu (10/05/2017).
Setelah ditangkap, kapal berisi bahan peledak dan crew digiring sampai ke Pelabuhan Benoa Bali dan baru tidak di Pelabuhan Benoa pada Minggu sore (14/05/2017). Penangkapan tersebut berdasarkan Operasi Patroli Laut Jaring Wallacea yang baru diluncurkan belum lama ini. Petugas berhasil menangkap 10 orang crew kapal yang sedang menarik (menghedhox) kapal kayu tanpa identitas di perairan laut utara Bali tepatnya di Pulau Kangiang, Sulawesi Tenggara.

Dirjen Bea Cukai Heru Pambudi memberikan penjelasan bahwa setelah dilakukan pengecekan, kesepuluh orang nelayan yang terdiri dari satu orang Nahkoda dan 9 ABK itu ternyata membawa bahan peledak berbahan amonium nitrat (bahan pembuatan bom). Bahan peledak itu terbagi menjadi 2.552 karung dengan berat masing-masing 25 kg.
Saat tim patroli laut melakukan pemeriksaan terhadap kapal tersebut, awak kapal dan nahkoda berinisial JDN tidak dapat menunjukkan dokumen sah berupa manifest terhadap barang muatannya dan ternyata setelah dicek ternyata muatan itu adalah bahan peledak. Kesepuluh crew kapal tersebut masing-masing bernama Ambo Saka, Massawari, Achmad, Mahmud, Jaenudin, Herman, Muhamad Kasim, Asmin, Jasman, Husaini Hasani (37).
Sementara kapal yang memuat bahan peledak bernama Kapal Hamdam V. Setelah diperiksa diatas kapal tidak ditemukan dokumen dan kuat terindikasi penyelundupan.
“Sebenarnya kapal itu sudah terdeteksi sejak keluar dari Malaysia karena tidak bisa ditangkap oleh Bea Cukai wilayah barat. Kemudian dikoordinasikan agar kapal tersebut menempuh jalur yang tidak biasa yakni melewati perairan dangkal. Itulah sebabnya kapal mengalami kebocoran dan akan ditarik ke daratan untuk diservice. Setelah dilakukan pencegahan, tim patroli bea dan cukai lakukan pemeriksaan. Hasilnya diketahui bahwa kapal tersebut berlayar dari Tanjung Belungkor, Malaysia dengan tujuan Maluku Selatan. Selain itu mereka tidak dapat menunjukkan manifest saat ditanya tim patroli,” ujarnya di Denpasar, Senin (15/05/2017).
Jumlah bahan peledak dititipkan di Rumah Penitipan Barang Sitaan Negara Denpasar. Sementara kapal masih ditahan dan para tersangka juga sedang diinterogasi. Sekarang sedang investigasi dan proses pengadilan. Barang ini bukan hanya tujuan biasa, multi tujuan dan multi guna seperti bom ikan, pupuk dan bom lainnya.
“Oleh karena bahan peledak yang begini banyak, tetapi tidak bisa menunjukan dokumen resmi maka kita yakini jika ini merupakan sindikat bahan peledak lintas negara,” ujarnya.
Dari 1 kilogram ini bisa menghasilkan 20 botol bom ikan seperti botol sprite. Tinggal dikalikan saja. Artinya, bila itu digunakan untuk bom ikan maka ada 5283 hektar laut yang rusak oleh bahan ini dan Indonesia akan kehilangan potensi penerimaan ikan dan hasil laut lainnya. Sementara untuk kejahatan lainnya akan didalami Bareskrim.
Menurutnya, penangkapan besar bahan peledak ini merupakan penangkapan untuk ketiga kalinya. Ini merupakan prestasi yang luar biasa. Pemerintah tidak akan berhenti dengan hanya menangkap, tetapi melakukan cegah dini peredaran bahan peledak.
Penangkapan juga sudah dilakukan 1,5 ton di Sulawesi Tenggara. Ini terkait dengan apa yang ada di Batam, dan Bali beberapa hari yang lalu. Pelaku utama sedang diburu, sudah teridentifikasi lokasinya.
“Nelayan kita diajarkan dengan cara penangkapan ikan dengan cara merusak laut. Jalur peredaran amonium nitrat itu sudah dilakukan deteksi. Kepolisian Malaysia sudah dikoordinasi atas peredaran amonium nitrat,” ujarnya.
Kepala Balai Karantina Ikan dan Pengendalian Mutu (BKIM) Kelas I Denpasar, Habrin Yake mengungkapkan nelayan masa kini telah beralih menjadi destroyed fishing.
“Selayar itu sudah tidak ada lagi terumbu karang dan ikan. Pemasukan amonium nitrat secara ilegal memiliki dua potensi resiko, pertama merusak terumbu karang dimana terumbu karang Indonesia secara umum 5 persen sangat baik dan 27,01 persen dalam kondisi baik, 37,97 dalam kondisi buruk dan 30,02 dalam kondisi sangat buruk. Paling buruk terumbu karang itu di wilayah Indonesia bagian timur,” ungkapnya.
Kalau tidak dapat ditangkap, maka laut seluas Pulau Bali bisa hancur. Di Kepulauan Selayar yang awalnya merupakan penghasil ikan kerapu dan kakap sekarang sudah tidak lagi.
Kepala Tindak Pidana Ekonomi Khusus Bareskrim, Brigjen Pol Agung Setya menjelaskan, bahan peledak tersebut diproduksi dari China dan Jerman namun transit di Malaysia dengan tujuan Indonesia bagian timur. Menurutnya, para nelayan ini menggunakan amonium untuk proses penangkapan ikan.
“Mereka tidak melalui jalur yang tidak normal, karena mereka menghindari jalur dari Jaring Wallacea,” ungkapnya.
Amonium nitrat merupakan bahan kimia yang pemasukannya diatur dengan ketentuan larangan atau pembatasan sesuai dengan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 230/MPP/KEP/7/1997. Pemasukannya juga harus dilindungi dokumen manifest.
Para pelaku diduga telah melanggar Pasal 102 huruf a Undang-undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Kepabeanan. “Jika barang itu diimpor dan tidak tercantum dalam manifest maka akan diproses secara hukum, karena dianggap melakukan penyelundupan. Ancamannya minimal 7 tahun sampai 10 tahun penjara,” katanya.
Pol Air pernah melakukan pengungkapan sebanyak 1,5 ton amonium nitrat di wilayah Sultra, dan yang kali ini ditangkap di Kangeang. “Mereka ini sindikat. Nelayan kita sudah diajarkan dengan doktrin destroyed fisfhing yaitu merusak laut untuk menangkap ikan. Kita pernah tangani penanganan di Pulau Selayar itu kita tangkap inisialnya AB dia simpan 1,5 ton amonium nitrat di rumahnya itu buat bom ikan,” ungkapnya.